Kala Sebuah Kemasan Menjadi Akar Masalah
Di sebuah
ruang setengah terbuka, terdengar harmoni suara gesekan katel dan sodet
beradu dengan suara riuhnya orang bercengkrama. Wangi-wangi makanan menyerbak,
menggoda setiap insan untuk mencicipi karya nikmat sang koki.
Lita yang kala
itu sedang lapar segera memesan menu fettucini carbonara favoritnya, namun
karena ia tidak mendapatkan meja. Lita meminta makanannya dibungkus di
styrofoam untuk dimakannya ditempat lain.
"Di
styroform ya bang!" Ujar Lita.
"Ga
dipiring neng?" Jawab pedagang makanan.
"Ribet
bang, di styrofoam aja biar praktis, jadi nanti kalo abis tinggal dibuang."
Ungkap Lita.
Tak lama, pedagang itu memberikan pesanan makanan pada Lita, kemudian Lita pergi
meninggalkan kantin.
Penulis yang
saat itu berada di lokasi yang sama, menghampiri Lita dan juga pedagang
tersebut, menanyakan apakah Lita dan pedagang pasta tersebut tahu mengenai bahaya styrofoam sebagai
pembungkus makanan.
"Yang terparah sih bisa menyebabkan kanker, soalnya styrofoam tuh kaya mengandung zat apa yang ga sehat buat tubuh dan kalo untuk makanan panas ga cocok bersentuhan dengan styrofoam." jawab Lita pada Senin (14/11/2016).
Ternyata Lita dapat dengan lancar menjelaskan styrofoam berdampak menimbulkan penyakit, kemudian pedagang yang bernama Ridwan itu juga dapat menjelaskan dampak dari penggunaan styrofoam.
Baik Lita dan Ridwan sama-sama tahu bahaya penggunaan styrofoam, namun mereka tetap menggunakan styrofoam dan beralasan styrofoam praktis juga tahan panas. Alasan ini jugalah yang membuat maraknya orang menggunakan kemasan makanan styrofoam, padahal tahu bahayanya sedikit demi sedikit mengancam kesehatan dan juga lingkungan.
"Yang terparah sih bisa menyebabkan kanker, soalnya styrofoam tuh kaya mengandung zat apa yang ga sehat buat tubuh dan kalo untuk makanan panas ga cocok bersentuhan dengan styrofoam." jawab Lita pada Senin (14/11/2016).
Ternyata Lita dapat dengan lancar menjelaskan styrofoam berdampak menimbulkan penyakit, kemudian pedagang yang bernama Ridwan itu juga dapat menjelaskan dampak dari penggunaan styrofoam.
“Yang
pasti kalo styrofoam, kalo langsung ya menimbulkan penyakit sih.. tapi kan makan
dialasin.. ga langsung.. kalo dari lingkungan ya pencemaran lingkungan ya..
tapi kan dia ga bisa diolah, butuh waktu lama buat busuknya juga” Ungkap Ridwan, dihari yang sama saat Lita diwawancarai
Baik Lita dan Ridwan sama-sama tahu bahaya penggunaan styrofoam, namun mereka tetap menggunakan styrofoam dan beralasan styrofoam praktis juga tahan panas. Alasan ini jugalah yang membuat maraknya orang menggunakan kemasan makanan styrofoam, padahal tahu bahayanya sedikit demi sedikit mengancam kesehatan dan juga lingkungan.
Fenomena Styrofoam
Styrofoam merupakan nama dagang produk yang diproduksi oleh Dow Chemical
Company. Produk bernama foam
polistirena ini merupakan bagian dari plastik, yang terdiri dari monumer-monumer
stirena dan berbahan dasar minyak bumi. Eduard Simon menemukan polistirena
dengan cara mengisolasi suatu bahan dari resin alami. (Mary Bellis 2011).
Styrofoam
memiliki karakteristik yang ringan dan mudah dibentuk. Benda ini cukup baik menjadi isolator dalam konteks
industri karena mampu
mempertahankan panas maupun dingin. Styrofoam juga digunakan menjadi bahan penyangga
elastis untuk menahan benda didalam paket transportasi agar barang tetap utuh
dan tidak rusak. seiring berjalannnya waktu penggunaannya meluas menjadi alat pengemas makanan.
Walaupun kegunaannya
yang terbilang praktis dan mudah. Ternyata styrofoam memiliki dampak lingkungan
yang cukup buruk.
Styrofoam disinyalir menjadi penyebab banjir di Kota Bandung. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, mengeluarkan imbauan pelarangan penggunaan styrofoam di wilayah Bandung per tanggal 1 November 2016. Aturan larangan penggunaan styrofoam dalam produk makanan mengacu pada Peraturan Daerah K3 (Kebersihan,Ketertiban dan Keindahan) serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Upaya pelarangan ini juga merupakan bentuk pembatasan karena styrofoam tidak ramah pada lingkungan. Menurut ahli kimia Universitas Indonesia, Dr. Budiawan, menguraikan stiren butuh bahan biologis yang khusus dan sejauh ini lingkungan belum dapat mendegradasi secara cepat.
Sumber foto: Kompas |
Styrofoam disinyalir menjadi penyebab banjir di Kota Bandung. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, mengeluarkan imbauan pelarangan penggunaan styrofoam di wilayah Bandung per tanggal 1 November 2016. Aturan larangan penggunaan styrofoam dalam produk makanan mengacu pada Peraturan Daerah K3 (Kebersihan,Ketertiban dan Keindahan) serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Upaya pelarangan ini juga merupakan bentuk pembatasan karena styrofoam tidak ramah pada lingkungan. Menurut ahli kimia Universitas Indonesia, Dr. Budiawan, menguraikan stiren butuh bahan biologis yang khusus dan sejauh ini lingkungan belum dapat mendegradasi secara cepat.
Struktur kimiawi dari
zat polistirena berbentuk jala-jala ikatan silang yang saling mengikat.
Sehingga semakin banyak ikatan silangnya semakin sulit rantai kimia tersebut
diputuskan. Dalam hal ini polistirena menjadi sulit diurai.
“Jadi begitu kompleksnya ikatan
silangnya, maka kemampuan bakteri itu tidak semudah sebagaimana ikatan itu
tidak silang.” Ujar Budiawan saat ditemui diruang Ketua Prodi Sarjana
Departemen Kimia, Univesitas Indonesia, Senin (14/11/2016).
“Butuh conditioning tertentu sehingga bakteri alam mampu mendegradasinya.”
Kata Budiawan.
Menelisik
Dampak Styrofoam
Nikmatnya sebuah sajian
makanan yang dijual seringkali menjadi candu bagi pembelinya. Kekayaan rasa
menjadi hal utama, menomerduakan penyajian
dan pengemasan. Ketidakpedulian itulah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat
masih menggunakan kemasan makanan yang kurang baik bagi kesehatan maupun
lingkungan.
Beragam makanan dikemas
dalam kemasan plastik dan juga styrofoam, contohnya yaitu bubur ayam, seblak,
mie ayam, nasi goreng bahkan bakso berkuah. Padahal makanan dengan karakter
suhu tinggi, berlemak, asam dan berminyak yang dikemas dengan styrofoam
berpotensi menyebabkan migrasinya monumer stirena pada styrofoam ke dalam
makanan.
Aturan kontak langsung
styrofoam dengan makanan diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.55.6497
tanggal 20 Agustus 2007 tentang Bahan Kemasan Pangan. Makanan yang mengandung minyak
atau lemak bebas batas migrasi residu total monomer stirenanya sebesar 10.000
ppm.
Penggunannya yang saat
ini dilakukan berlebihan ditengah masyarakat. Memunculkan kekhawatiran yang
besar bagi para penggiat kesehatan, sehingga mereka ramai-ramai melakukan
penelitian mengenai dampak kesehatan styrofoam.
Olive Green (2007) dalam
laporannya yang berjudul Styrofoam – TheSilent Killer
menyatakan bahwa paparan stirena dapat menyebabkan gangguan hormonal yang dapat
mengakibatkan gangguan tyroid, menstruasi yang tidak teratur bahkan kanker
payudara dan kelenjar prostat.
Sependapat dengan penelitian
tersebut, Dokter Naurah sebagai dokter penyakit dalam yang sempat melaksanakan
praktik kedokterannya di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta, menyebutkan bahwa
styrofoam mengandung benzena yang dapat menimbulkan penyakit.
“Penyakit yang
ditimbulkan oleh benzena misalnya ada masalah di kelenjar tiroid, mengganggu
sistem saraf, mempercepat detak jantung, mengganggu pola tidur, bisa
gemetaran.” Ujar Dokter Naurah dalam wawancara via jejaring sosial Whatsapp, Jumat (26/10/2016).
“Yang paling berbahaya
ini bisa menimbulkan kanker, kanker payudara, kanker prostat, leukimia, terus
bisa merusak genetika juga, pada akhirnya dapat menghilangkan kesadaran dan
juga kematian.” Ungkap Dokter Naurah.
Menurut Dokter yang kini
sedang bertugas si tanah Papua ini, benzena akan berakumulasi dengan lemak,
kemudian dapat masuk ke dalam sel-sel darah dan juga sum-sum tulang segala,
yang akan terus menumpuk kemudian
pelan-pelan menimbulkan penyakit.
“Jadi
tidak harus nunggu banyak dulu baru menimbulkan penyakit, tapi sambil dia
bertumpuk sambil dia juga mulai menimbulkan masalah di dalam tubuh kita.”
Tentunya
dampak paparan penggunaan styrofoam ini bersifat jangka panjang, tergantung pada
jumlah dosisnya terpapar berulang-ulang pada tubuh dalam periode tertentu.
Pada persoalan lingkungan, styrofoam masuk kedalam 15% proyeksi sampah dominan plastik yang cukup berperan dalam menimbulkan masalah. Styrofoam yang karakternya kaku, mengembang, dan kedap air membuatnya membutuhkan banyak ruang untuk disimpan.
Jika penempatan styrofoam tidak tepat, misalnya saja styrofoam dibuang ke sungai atau styrofoam menumpuk dikebun. Hal ini dapat memunculkan bencana lingkungan yang baru. Contohnya, banjir di Kota Bandung akibat styrofoam dan sampah plastik yang menghambat jalannya air sungai.
Melihat permasalahan tersebut, Agus Supriyanto, Kepala Seksi Bina Peritel Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK mengkhawatirkan penumpukan sampah yang semakin besar.
Sumber: Data Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan |
Pada persoalan lingkungan, styrofoam masuk kedalam 15% proyeksi sampah dominan plastik yang cukup berperan dalam menimbulkan masalah. Styrofoam yang karakternya kaku, mengembang, dan kedap air membuatnya membutuhkan banyak ruang untuk disimpan.
Jika penempatan styrofoam tidak tepat, misalnya saja styrofoam dibuang ke sungai atau styrofoam menumpuk dikebun. Hal ini dapat memunculkan bencana lingkungan yang baru. Contohnya, banjir di Kota Bandung akibat styrofoam dan sampah plastik yang menghambat jalannya air sungai.
Melihat permasalahan tersebut, Agus Supriyanto, Kepala Seksi Bina Peritel Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK mengkhawatirkan penumpukan sampah yang semakin besar.
“Sebenernya volume sampah ini udah melebihi, udah dalam tahap mengkhawatirkan walaupun cuma 15% pertahun tapi kan udah berapa tahun. Satu karena dampaknya, dua ga bisa diapa-apain. Dan ini kan timbulan pertahun, asalnya sampah tapi yang tertimbun, yang numpuk sekarang sudah lebih dari 50 % yang ada di TPA” Ujar Agus, Senin (14/11/2016) dalam ruangannya di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1986 menyatakan bahwa foam polistirena merupakan penghasil nomor lima sampah yang paling berbahaya di dunia. Pembuatan foam polistirena yang menggunakan HCFC-22 ternyata juga menimbulkan masalah karena HCFC-22 merupakan gas rumah kaca dan membahayakan lapisan ozon.
Pengolahan styrofoam cukup sempit solusinya hingga diperlukan inovasi dan kajian lebih lanjut. Karena styrofoam sulit diurai, dan jika diolah dengan alat, yakni dihancurkan secara dibakar dengan incinerator membutuhkan dana yang besar. Styrofoam juga sulit diolah menjadi kerajinan tangan. Dampak buruk ini menjadi bukti, bahwa perlu adanya perkembangan regulasi mengenai penggunaan sampah plastik yakni styrofoam.
“Jadi satu-satunya cara adalah mengurangi penggunaan atau dilarang sekalian” Kata Agus.
Pengelolaan sampah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah dalam pengurangan sampah maupun penanganan sampah dan juga pada Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 Tentang pengelolaan Sampah Rumah Tangga, dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Namun regulasi ini belum sepenuhnya diikuti produsen styrofoam, produsen makanan dan juga konsumen. Padahal pada pasal 1 ayat 5 PP No. 81 Tahun 2012 menyebutkan.
“Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.”
Upaya pembatasan styrofoam dalam skala nasional ini membutuhkan dukungan dari berbagai sumber dan instansi. Untuk itu, KLH melakukan pendekatan pada sumber terkait dengan mengedukasi bahaya penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan.
“Jadi yang kita pengaruhi ya produsen makanan minuman supaya mereka bisa mengganti kemasan yang bukan styrofoam “
“Yang kedua konsumen, kita coba pengaruhi dengan campaign melalui media sosial, melalui forum, melalui komunitas atau apapun untuk tidak lagi menggunakan styrofoam” Ujar Agus yang juga sering disapa dengan panggilan Pak Puyi ini.
Perlu tidaknya regulasi pelarangan penggunaan styrofoam yang mengikat ini adalah hasil dari kesadaran, pemahaman dan kepedulian. Karena berbicara sampah tentu tidak lepas dari kebiasaan. Tetap saja aksi nyata dalam wujud menjaga lingkungan adalah solusinya. Untuk itu Agus berpesan,
“Cobalah menjadi lebih bijak jadi konsumen” Kata Agus dengan bijak.
Ditulis oleh: Selly Melinda - Masskom- Menulis Jurnalistik 2
Komentar
Posting Komentar