Menulis
Suatu hari di tahun 2015, aku menulis dalam sebuah blog yang telah lama kutinggalkan. Keberadaannya sangat kubutuhkan tapi jarang terawat akibat waktu yang tak kunjung luang dan terkadang rasa malas mengunciku untuk keluar mengungkapkan segala rasa yang tertahan, yang kadang tidak sempat dan tak ingin diungkapkan lewat ucapan. Kadang lebih baik aku menuliskannya disini karena tak peduli ini akan dibaca atau tidak setidaknya aku bisa mengungkapkannya dengan bebas. Aku tahu dia hanya akan diam, dia hanya penyedia dan dia juga terbatas karena ada aturan untuk mengangkat isu tertentu dsb. Tapi Kau tahu ini rasanya lebih baik, kau bisa terus bercerita tanpa panik tidak ingin didengarkan. Kau bisa terus bercerita tanpa panik dihiraukan. Dan kau bisa terus bercerita tanpa khawatir apa yang kau ceritakan akan di skip lalu lupa untuk dibahas karena "sudah beda topik". Bilang saja begitulah, realistis saja dan tak perlu bertele-tele.
Aku seorang wanita yang dalam angannya ingin menjadi penulis hanya pernah belajar materi Dasar-Dasar Penulisan 1 semester. Walaupun kaidah tulisanku yang belom apik, rapi atau minim variasi kata. Bekal itu sudah kudapatkan dan itu bukan hal yang minim, aku masih bisa learning by doing, mengingat banyak diluar sana penulis yang latar belakangnya berbeda dengan profesinya sekarang. Contoh Dee dia seorang lulusan Hubungan Internasional, lalu Darwis Tere Liye seorang akuntan yang mengisi selang waktunya dengan menulis kemudian Windy Ramadhania seorang arsitek dan juga penulis. Well itu hanya sebagian contoh kecil, karena dari contoh kecil itu aku percaya sebuah motto yang aku pakai dalam blog description yaitu "Karena Hidup Ga Stucks Begitu Aja". Aku bisa menjadi apapun yang aku mau, karena hidup berjalan terus tak akan berhenti, kecuali bila 'waktunya sudah tiba'. Jadi selagi roda berjalan maka aturlah arah mana yang ingin kau tuju. Begitulah maksudku, tak muluk-muluk dan tak ribet tapi cukup memberi kesan memotivasi.
Memang agak naif bila hanya berbekal materi kuliah 1 semester aku langsung bisa menulis dengan bahasa yang padu nan indah untuk dibaca. Tapi seiring berjalannya waktu aku belajar. Hal ini sekaligus menuliskan kekhawatiranku untuk mulai masuk dalam dunia tulis menulis ini. Tapi satu hal belajar tak mengenal kata terlambat. Banyak penulis yang mungkin dari kecilnya terbiasa membaca komik, majalah atau serial-serial sastra lainnya. Tapi aku tidak, aku kecil tak dibesarkan dengan bacaan seperti itu. Tapi bagiku menarik bila membaca sejarah dalam buku IPS tentang kerajaan di Indonesia, intisari IPA, atau membaca kisah nabi-nabi dalam buku agama, dan cerita pendek dalam buku Bahasa Indonesia. Baru aku menyukai membaca ketika smp, dan itu pertengahan SMP ya bisa dibilang kelas 8. Aku tertarik membuat sebuah puisi dan itu awalnya juga karena sebuah pr dari guru Bahasa Indonesia lantas aku jadi senang membaca sastra.
Bagaimana dengan diary?
Ah dahulu bagiku itu agak lucu sih, ya walaupun aku mencobanya sesekali tapi hal itu tak berlangsung lama. Tulisan tanganku seperti cacing kepanasan, aku masih ingat kakak perempuanku memarahiku karena tulisanku yang sudah smp masih sama saja seperti anak sd. Aku tak suka menulis selain karena tulisan yang seperti cacing kepanasan, tanganku sering pegal. Kemudian aktivitas itu tak dilanjutkan lagi.
Ya begitulah aku mengenang asal mula aku iseng menulis. Mungkin frekuensi tulisanku setiap bulannya tak sebanyak bloggers yang lainnya atau pengetahuanku soal menulis masih amat dangkal, tapi aku tak akan berhenti belajar. In the end of the post i will say to you 'JUST WRITE IT'. Kau ingin tahu alasannya? Akan ku beri beberapa.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah
(Rumah Kaca, h. 352)”
(Rumah Kaca, h. 352)”
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.”
― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
“Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!”
― Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru
― Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru
“Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.
(Caping 3, h. 424)”
― Goenawan Mohamad
(Caping 3, h. 424)”
― Goenawan Mohamad
You know i'd love to Wiji Thukul quotes. Just Write It Friends!
19:23 04/01/2015- Selly Melinda
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus